Friday, March 8, 2013

KISAH SUKSES IWAN SUMITO


Arek Suroboyo ini sudah menetap selama 20 tahun di Australia. Bersama dua mitranya, ia merentas sukses di bisnis properti. Bagaimana Iwan Sunito mencapainya?

Australia, tak hanya dikenal sebagai negara yang memiliki panorama indah. Peluang bisnis pun, ternyata terbuka lebar bagi siapa saja yang mau mencoba. Salah satunya yang berhasil mengembangkan bisnis di negeri ini adalah Iwan Sunito, pria asal Surabaya. Ceritanya, 20 tahun lalu, lelaki kelahiran Juli 1966 ini datang ke sana untuk menimba ilmu di Jurusan Arsitektur Universitas New South Wales, Australia. Kemudian, ia melanjutkan S-2-nya di kampus yang sama dengan mengambil spesialisasi Manajemen Konstruksi.

Setelah lulus pada 1992, ia pun mencoba peruntungan di Cox Richardson Architects, perusahaan yang menggarap proyek Olyimpic 2000 di Australia. Selama dua tahun di perusahaan ini, ia menyadari, jika terus bekerja di perusahaan orang, akan sulit mencapai target hidup seperti yang diharapkan.

Maka, pada 1994, keputusan penting dibuat; merintis usaha sendiri sesuai dengan keahlian. Segmen yang dibidik adalah rumah-rumah mewah. "Jiwa saya bukan mengerjakan rumah-rumah murah," kata peraih penghargaan The Best Residential Designer ketika menyelesaikan S-1-nya ini. Bukannya berkmasud jumawa, hanya saja, dijelaskan Iwan, proyek rumah murah di Australia sudah terlampau banyak dan persaingannya juga ketat.

Rumah pertama yang dirancang Iwan adalah rumah mewah di daerah Rose Bay. Nilai total proyek ini Aus$ 500 ribu. "Lumayanlah, baru pertama kali langsung dapat proyek besar," katanya sembari tersenyum. Setelah itu, bisnisnya berkembang baik. Proyek perkantoran dan unit perumahan mulai digarap. Sebenarnya, "Bisnis ini bisa berkembang lebih besar dengan jumlah arsitek sekitar 100-200 orang," ujarnya optimistis. Namun, ia merasa, bisnis arsitek cuma bagus untuk sekadar memiliki cash flow.

Iwan pun memutar otak, mencari peluang yang memungkinkannya melakukan gebrakan. Setelah melihat-lihat, bisnis property development pun dilirik. Di bisnis ini, ia mempunyai bekal karena tesis yang dikerjakannya juga tentang hal yang sama. "Jadi, arahnya saya belokkan ke property development," katanya.

Kendati memiliki pengetahuan dan pengalaman membangun rumah, bukan berarti sukses langsung digenggam. Awalnya, proyek perumahan kecil berisi 5-6 unit rumah yang diincar. Akan tetapi, ketika sudah menemukan lokasi yang cocok, Iwan tak jadi membelinya. Alasannya, "Harganya terlalu mahal. Saya tidak berani membeli."

Tahun 1996, ia menemukan tanah yang cocok untuk membangun 55 unit rumah di daerah Bondi Junction dengan harga Aus$ 28 juta. "Ini nilai proyek pertama saya," ujar Iwan. Karena nilai investasinya besar, ia pun mengajak dua teman baiknya mengerjakan proyek ini bersama-sama. "Sejak itu, kami merasa cocok. Kemudian, saya memutuskan merger dengan mereka yang memang sejak awal sudah bergerak di bidang property investment & development," lanjutnya. Karena itu, pada tahun yang sama dibentuklah Crown International Group, yang merupakan hasil merger beberapa perusahaan.

Iwan berkisah, bukan perjuangan mudah menjadi pengusaha di negeri orang. Ia merasa harus banyak belajar. Untungnya, sistem pemerintahan Australia memudahkannya membangun bisnis. "Di Australia, proses izin sangat transparan. Kalau toh tidak diizinkan, di sana ada pengadilan sistem yang bisa memutuskan. Jadi, tidak ada sistem yang dimanipulasi," paparnya.

Ini berbeda dengan di Indonesia, yang ia dengar sering dijumpai hal-hal ganjil. Sekadar mengambil contoh, soal sertifikat ganda, di Indonesia sudah umum terjadi. Sementara di Australia, itu merupakan tindak kejahatan yang bisa diajukan secara hukum.

Diakui Iwan, potensi pasar di Indonesia untuk bisnis properti masih sangat besar. Namun, sejauh ini, soal transparansi masih sering dipertanyakan. "Ketika teman-teman di Australia mengundang Robby Djohan atau Emil Salim untuk diskusi, selalu saja pertanyaannya menyangkut legal transparancy. Mereka butuh jaminan. Ada beberapa hal di Indonesia yang membuat kami tidak nyaman berbisnis, " Iwan mengungkapkan.

Dalam pandangan Iwan, orang yang sudah terbiasa dalam iklim bisnis seperti di Australia, akan mendapat hambatan besar jika masuk ke pasar di Indonesia. "Tidak sebanding antara keuntungan dan risikonya," ujarnya berseloroh. Sejauh ini, ia belum terpanggil untuk berbisnis di negeri sendiri. "Saya harus berpikir banyak. Paling tidak, saya harus mengerti sistem di Indonesia," tuturnya serius. Terlebih, banyak hal yang membuatnya bingung. Umpamanya, dalam hal jual-beli tanah. Di Australia, disebutkan Iwan, proses pembelian tanah hanya membutuhkan waktu tiga hari. Sementara di Indonesia, ia menduga, mungkin bisa memakan waktu sampai berbulan-bulan.

Kendati demikian, bukan lantaran itu ia takut memulai bisnis di Indonesia. Alasan yang sebenarnya, "Saya sudah lama di Australia dan tahu benar peta geografi negeri ini, serta peluang yang ada di sana."

Sekarang, Iwan masih fokus menggarap proyek di Sydney yang populasinya hanya sekitar 20 juta orang. "Buying power penduduk Sydney besar. Tinggal bagaimana kita menggarapnya," Iwan menandaskan. Selama tinggal di Australia, ia mengamati, investasi properti di Sydney jauh lebih bagus daripada dalam mata uang asing. Sekadar contoh, pada 1985 harga rumah di Sydney sekitar Rp 96 juta. Sekarang, bisa mencapai Rp 4,8 miliar. Bayangkan, berapa keuntungannya?

Ke depan, Sydney diyakini Iwan masih sangat prospektif. Di daerah ini, banyak orang yang sukses dalam hidupnya dan mempunyai daya beli yang tinggi. Bahasa apa pun ada di wilayah ini. Bahkan, "Sekarang mulai bertebaran perusahaan multinasional yang mendirikan headquarter di daerah ini," katanya. Agaknya, Sydney menjadi pilihan karena tempatnya indah dan top executive-nya lebih senang tinggal di daerah ini. "Banyak orang yang rebutan ingin masuk ke sini," ungkapnya.

Selain Sydney, daerah lain yang pertumbuhan bisnis propertinya bagus, menurut Iwan, adalah Melbourne dan Queensland. "Kalau di Sydney dan Melbourne sudah sejak dulu. Kini Queensland juga banyak diincar karena lokasinya dekat pantai. Harga rumah di Queensland juga masih murah," papar Iwan seraya menjabarkan, beberapa tahun lalu, 70% penduduk Australia lebih senang tinggal di daerah rural. Namun saat ini, mulai terjadi pergeseran. "Kalangan muda menilai, untuk memulai hidup di Sydney terlalu mahal," ujar Iwan.

Kendati begitu, Sydney tetap dipilih untuk proyek propertinya. Diakui Iwan, di kota itu, sebetulnya agak susah mencari tanah. Namun, tak ada kata gentar yang hinggap. "Kalau mendapat tanah yang harganya cocok, akan baik untuk bisnis," katanya. Lagi pula, "Saya sudah lama tinggal di sini sehingga tahu pasarnya," ia menukas. Sejauh ini, ia mengaku belum ada rencana mengembangkan bisnisnya di dua daerah potensial yang lain.

Iwan mengungkapkan, ada dua hal yang membuatnya bisa bertahan di negeri orang dan meraih sukses. Pertama, mengerti sistem yang berlaku dan berhubungan baik dengan orang-orang yang berada di dalam sistem itu. Kedua, harus tahu positioning produk sendiri dan menciptakan keunikan. Misalnya, ia mengamati, di Sydney banyak orang tua yang sudah mencapai usia pensiun ingin pindah dari rumah mereka yang besar (senilai Aus$ 1-2 juta) ke yang ukurannya lebih kecil. Di pasar, rumah yang ditawarkan ukurannya terlalu kecil. Untuk menjawab kebutuhan itu, ia pun mengembangkan rumah mewah di lokasi yang transportasinya bagus dan ada fasilitas convenience store-nya. Ukurannya, diklopkan dengan permintaan pasar.

Hal yang sama juga terjadi ketika mengerjakan proyek di Bondi. Di tempat ini, yang digarap adalah perumahan eksklusif. "Kami tahu daerah ini dikelilingi orang yang tinggal di rumah senilai Aus$ 4 juta," kata Iwan. Maka, dibangunlah proyek yang unik dan berbeda. Biasanya, orang membuat satu unit rumah dengan dua kamar tidur luasnya 80 m2. Namun, ia membuatnya menjadi 95 m2. Atau, yang biasanya tiga kamar tidur seluas 95 m2, diperluas menjadi 135 m2. "Tidak ada kompetitornya. Positioning kami adalah terhadap market tertentu, daerah tertentu dan menjangkau kebutuhan di daerah tersebut," tutur Iwan, yang dengan strategi itu pula merasa lebih mudah memasarkan produknya.

Di samping itu, budaya setempat juga diperhatikan Iwan. "Saya tahu kalau orang Asia senang tinggal di kota yang ramai, dan ada shopping center-nya. Sementara orang bule profesional, lebih suka di daerah yang trendi. Dan orang yang sudah tua, tidak akan pindah ke daerah lain yang belum pernah dia tinggali," Iwan menuturkan. Budaya-budaya ini yang dulunya tidak ia mengerti. Ia sempat heran melihat orang yang berani membayar mahal, padahal daerahnya bukan di daerah strategis. Ternyata, alasannya sederhana saja. "Mereka sudah lama tinggal di situ dan anak mereka juga tumbuh di lingkungan itu."

Dilihat dari skala bisnisnya, Crown termasuk perusahaan kelas menengah. "Nilai proyek kami sekitar Aus$ 80-200 juta per proyek," ungkap Iwan. Di kelas ini, pemainnya relatif banyak, yakni 20-30 pemain. Sementara di kelas atas, hanya ada 5-6 pemain dan biasanya perusahaan publik. "Sydney itu besar sekali. Kami tidak bisa meng-handle sendirian," paparnya. Jika tender proyek berlangsung, biasanya yang berkompetisi hanya 3-4 perusahaan. Ia sendiri sering memperoleh proyek tanpa melalui tender. "Kebanyakan private deal," ia menambahkan. Sebagai contoh, bila Iwan melirik sebidang tanah, ia akan menghitung dengan kacamata bisnis, lalu mengajukan penawaran langsung ke pemiliknya.

Di proyek yang diberi nama Genesis -- proyek apartemen dan ritel berkualitas tinggi di daerah Epping -- Iwan tidak sendirian, melainkan join ventura dengan pengembang properti lain, Lyon Group. Nilai proyeknya Aus$ 80 juta. Saat ini, proses konstruksi Genesis telah dimulai. Proyek ini akan selesai pada 2006, bersamaan dengan rencana Pemerintah New South Wales menyelesaikan railway line dari Chatswood ke Epping. Pada saat peresmian nanti, PM Australia, John Howard berkenan hadir untuk meresmikan proyek tersebut.

Di atas lahan seluas 4000 m2 itu, akan dibangun 98 apartemen beragam tipe -- tipe studio, apartemen dua kamar dan tiga kamar. Untuk tipe studio, harganya berkisar Aus$ 340-545 ribu untuk dua kamar tidur, dan Aus$ 650 ribu untuk tiga kamar tidur. Sementara itu, untuk jenis sub-penthouse harganya Aus$ 995 ribu dan luxury penthouse ditawarkan mulai dari Aus$ 1,135 juta.

Selama tinggal di Sydney, Iwan mengaku banyak belajar tentang pola pikir bangsa lain. Berdasarkan pengamatannya, yang membuat orang Indonesia tak berhasil membangun bisnis di Australia bukan karena tak mampu. Melainkan, kesalahan dalam membaca pola pikir masyarakat di sana. "Mereka berharap kesuksesannya di Jakarta bisa langsung dibawa ke Australia," ujarnya berargumen. Padahal, tidak semudah itu menerapkannya. "Untuk masuk ke sini, orang Indonesia harus bisa menghapuskan halangan-halangan terlebih dulu," katanya. Apa yang dimaksud dengan halangan-halangan?

"Bahasa dan budaya," jawab Iwan. "Halangan bahasa adalah penyebab utama masuk ke networking mainstream," katanya. Bila networking-nya terbatas, informasinya pun jadi terbatas. Di samping itu, halangan bahasa juga harus bisa dihilangkan. "Dan, jangan terburu-buru. Kita harus tahu benar budaya di sini," tambahnya.

Ia mengambil contoh temannya, seorang pengusaha asal Indonesia yang ingin mengembangkan perumahan di Melbourne. Total nilai proyeknya sekitar Aus$ 120 juta. Lokasinya dekat kasino, sedangkan di seberangnya tempat para pelajar. Ketika melihat rancangannya yang mahal, ia sudah menebak bahwa itu tidak akan berhasil. Kalau di Sydney, perumahan di dekat kasino akan laku keras. "Tapi tidak di Melbourne," ia menandaskan. "Ia tidak sadar bahwa orang lokal tidak mau dan tidak suka tinggal di tempat seperti itu," tambahnya.

bahkan ketika di wawancarai di acara talkshow bukan empat mata pada kamis 7 maret 2013 malam beliau sedang menggarap proyek dengan senilai 28 triliun. 

Jelas, tak mudah mengembangkan bisnis di negeri orang. Selain harus memahami budaya setempat, bahasanya pun harus dikuasai dengan baik dan benar. Dan yang tak kalah penting, tentu saja, harus kenal banyak orang. Sebab, dengan jaringan yang ada di mana-mana itulah, Iwan Sunito bisa meraih impiannya di Australia. Itulah kiat si arek Suroboyo ini merentas suksesnya di Negeri Kanguru. Ada yang punya nyali menyusul jejaknya.
sumber:www.swa.co.id

Kisah Sukses Chairul Tanjung


Chairul Tanjung Pria kelahiran Jakarta, 16 Juni 1962 Pengusaha sukses asal indonesia ini dikenal luas sebagai pendiri sekaligus   pemimpin, CT Corp (sebelum 1 Desember 2011 bernama Para Group)
.
Karier dan kehidupan
Chairul lahir di Jakarta dalam keluarga yang sederhana. Ayahnya A.G. Tanjung adalah wartawan zaman orde lama di sebuah surat kabar kecil. Chairul berada dalam keluarga bersama enam saudara lainya. Ketika Tiba di zaman Orde Baru, usaha ayahnya dipaksa tutup karena tulisannya dianggap berbahaya dan berseberangan secara politik dengan penguasa saat itu. Keadaan tersebut memaksa orangtuanya menjual rumah dan berpindah tinggal di kamar losmen yang sempit.

Setelah lulus dari SMA Boedi Oetomo pada tahun 1981, Chairul melanjutkan pendidikannya di Universitas Indonesia (fakultas kedokteran gigi). ketika kuliah dia dikenal sebagai murid yang sangat baik hal ini terbukti saat ia mendapat
penghargaan sebagai Mahasiswa Teladan Tingkat Nasional periode 1984-1985.

Naluri pengusaha mulai muncul dalam dirinya saat ia menjadi Mahasiswa, untuk membiayai kuliahnya yang cukup besar dia berjualan buku kuliah stensilan dan kaos selain itu Ia juga pernah membuka usaha foto kopi dikampus. Chairul juga pernah mendirikan sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di daerah Senen Raya, Jakarta Pusat, tetapi usahanya ini tidak berhasil,

Setelah lulus dari Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia, Chairul bersama tiga rekannya  mendirikan PT Pariarti Shindutama  pada tahun 1987. Dengan modal awal Rp 150 juta dari Bank Exim,  (PT Pariarti Shindutama adalah perusahaan yang kegiatannya memproduksi sepatu anak-anak untuk ekspor). Karena Kerja keras yang luar biasa perusahaan tersebut mendapat pesanan 160 ribu pasang sepatu dari Italia. Akan tetapi, karena ada masalah internal dalam perusahaan (perbedaan visi tentang ekspansi usaha), Chairulpun memilih pisah dan mendirikan usaha sendiri.

Beliau sangatlah piawai dalam membangun jaringan dan berorganisasi hal inilah yang membuat bisnisnya semakin berkembang. Setelah keluar dari PT Pariarti Shindutama Chairul mereposisikan dirinya ke tiga bisnis inti: yaitu keuangan, properti, dan multimedia. 

Kemudian ia pun mendirikan sebuah kelompok perusahaan dengan nama Para Group. Perusahaan Konglomerasi ini mempunyai Para Inti Holdindo sebagai fatherholding company, yang membawahkan beberapa sub-holding, yakni Para Global Investindo (bisnis keuangan), Para Inti Investindo(media dan investasi) dan Para Inti Propertindo (properti).
Di bawah para group, Chairul Tanjung memiliki sejumlah perusahaan di berbagai bidang diantaranya :

  • Mega Corpora
    • Perbankan
      • PT Bank Mega Tbk (Bank Mega)
      • PT Bank Syariah Mega Indonesia (Bank Mega Syariah)
    • Asuransi
      • PT Asuransi Jiwa Mega Life
      • PT Asuransi Umum Mega
    • Pasar modal
      • PT Mega Capital Indonesia
    • Pembiayaan
      • PT Para Multifinance
      • PT Mega Auto Finance
      • PT Mega Central Finance
  • Trans Corp
    • Trans Corpora Media
      • PT Televisi Transformasi Indonesia (Trans TV)
      • PT Duta Visual Nusantara Tivi Tujuh (Trans7)
      • PT Agranet Multicitra Siberkom (DetikCom)
    • PT Trans Lifestyle
      • PT Anta Express Tour & Travel Service Tbk
      • PT Trans Fashion
        • PT Trans Mahagaya
          • PT Mahagaya Perdana (Prada, Miu Miu, Tod’s, Aigner, Brioni, Celio, Hugo Boss, Francesco Biasia, Jimmy Choo, Canali, Mango)
      • PT Trans F&B
        • PT Trans Coffee (The Coffee Bean & Tea Leaf)
        • PT Trans Ice
          • PT Naryadelta Prarthana (Baskin Robbins)
      • PT Metropolitan Retailmart (Metro department store)
      • PT Trans Airways
      • PT Trans Rekan Media
      • PT Trans Entertainment
    • PT Trans Property
      • PT Para Bandung Propertindo (Bandung Supermal)
      • PT Batam Indah Investindo
      • PT Karya Data Mandiri
      • PT Mega Indah Propertindo
      • PT Para Bali Propertindo
      • PT Trans Studio
        • PT Trans Kalla Makassar (Trans Studio Resort Makassar)
        • Trans Studio Resort Bandung
    • PT Trans Retail
      • PT Carrefour Indonesia
  • PT CT Global Resources
    • PT Para Inti Energy
    • PT Para Energy Investindo
    • PT CT Agro
    • PT Kaltim CT Agro
    • PT Kalbar CT Agro
    • PT Kalteng CT Agro
    • PT Arah Tumata
    • PT Wahana Kutai Kencana
Prestasi Para Group antara lain : di bisnis properti, Para Group memiliki Bandung Supermall. Mal seluas 3 hektar ini menghabiskan dana 99 miliar rupiah. Para Group meluncurkan Bandung Supermall sebagai Central Business District pada 1999. Sementara di bidang investasi, Pada awal 2010, Para Group melalui anak perusahaannya, Trans Corp., membeli sebagian besar saham Carefour, yakni sejumlah 40 persen. Mengenai proses pembelian Carrefour, MoU (memorandum of understanding) pembelian saham Carrefour ditandatangani pada tanggal12 Maret 2010 di Perancis.

Majalah ekonomi ternama Forbes merilis daftar orang terkaya dunia edisi tahun 2010. menurut majalah tersebut, Chairul Tanjung termasuk salah satu orang terkaya dunia asal Indonesia. Forbes menyatakan bahwa Chairul Tanjung berada di urutan ke 937  orang terkaya di dunia dengan total kekayaan US$ 1 miliar. Tahun 2011, menurut Forbes Chairul Tanjung menduduki peringkat 11 orang terkaya di Indonesia, dengan total kekayaan US$ 2,1 miliar, dan menurut data terbaru yang saya peroleh dari forbes pada tahun 2012 chairul menempati posisi ke 8 orang terkaya di Indonesia dan peringkat ke 634 di dunia dengan kekayaan 2 milyar US$ atau senilai dengan 19,3 triliun rupiah
Pada tanggal 1 Desember 2011, Chairul Tanjung meresmikan perubahan Para Grup menjadi CT Corp. CT Corp terdiri dari tiga perusahaan sub holding: Mega Corp, Trans Corp, dan CT Global Resources yang meliputi layanan finansial, media, ritel, gaya hidup, hiburan, dan sumber daya alam 

Riwayat Pendidikan
Berikut selengkapnya latar belakang pendidikan seorang Chairul Tanjung.
SD Van Lith, Jakarta (1975)
SMP Van Lith, Jakarta (1978)
SMA Negeri I Boedi oetomo, Jakarta (1981)
Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Indonesia (1987)
Executive IPPM (MBA; 1993)

Pemikiran
Chairul menyatakan bahwa dalam membangun bisnis, mengembangkan jaringan (network) adalah penting. Memiliki rekanan (partner) dengan baik diperlukan. Membangun relasi pun bukan hanya kepada perusahaan yang sudah ternama, tetapi juga pada yang belum terkenal sekalipun. Bagi Chairul, pertemanan yang baik akan membantu proses berkembang bisnis yang dikerjakan. Ketika bisnis pada kondisi tidak bagus (baca: sepi pelanggan) maka jejaring bisa diandalkan. Bagi Chairul, bahkan berteman dengan petugas pengantar surat pun adalah penting.
Dalam hal investasi, Chairul memiliki idealisme bahwa perusahaan lokal pun bisa menjadi perusahaan yang bisa bersinergi dengan perusahaan-perusahaan multinasional. Ia tidak menutup diri untuk bekerja sama dengan perusahaan multinasional dari luar negeri. Baginya, ini bukan upaya menjual negara. Akan tetapi, ini merupakan upaya perusahaan nasional Indonesia bisa berdiri sendiri, dan jadi tuan rumah di negeri sendiri.
Menurut Chairul, modal memang penting dalam membangun dan mengembangkan bisnis. Baginya, kemauan dan kerja keras harus dimiliki seseorang yang ingin sukses berbisnis. Namun mendapatkan mitra kerja yang handal adalah segalanya. Baginya, membangun kepercayaan sama halnya dengan membangun integritas. Di sinilah pentingnya berjejaring (networking) dalam menjalankan bisnis.
Dalam bisnis, Chairul menyatakan bahwa generasi muda bisnis sudah seharusnya sabar, dan mau menapaki tangga usaha satu persatu. Menurutnya, membangun sebuah bisnis tidak seperti membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan sebuah kesabaran, dan tak pernah menyerah. Jangan sampai banyak yang mengambil jalan seketika (instant), karena dalam dunia usaha kesabaran adalah salah satu kunci utama dalam mencuri hati pasar. Membangun integritas adalah penting bagi Chairul. Adalah manusiawi ketika berusaha,seseorang ingin segera mendapatkan hasilnya. Tidak semua hasil bisa diterima secara langsung.

Buku 
kisah hidup chairul tanjung telah ditulis dalam sebuah buku yang berjudul “si anak singkong” buku ini megisahkan tentang perjalanan hidup chairul tanjung dari kecil hingga sukses seperti saat ini, Buku setebal 360 halaman yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) ini disusun oleh wartawan Kompas Tjahja Gunawan Adiredja. Buku ini diberi kata pengantar oleh Jakob Oetama, Pendiri dan Pemimpin Umum Harian Kompas, 
Biografi Chairul Tanjung diawali dengan kisah bagaimana di tengah keterbatasan kondisi ekonomi keluarga, ia mampu melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Kedua orangtua sangat tegas dalam mendidik anak-anaknya,  Orangtuanya mempunyai prinsip, “Agar bisa keluar dari jerat kemiskinan, pendidikan merupakan langkah yang harus ditempuh dengan segala daya dan upaya.” Apa pun akan mereka upayakan agar anak-anak mereka dapat melanjutkan pendidikan tinggi sebagai bekal utama kehidupan masa depan.
Buku ini bisa anda dapatkan di toko buku gramedia dengan harga Rp 58.000,-
buku karya penulis buku ini diberi judul si anak singkong karena saat masih anak-anak chairul sering diejek teman-temannya dengan sebutan anak singkong yang artinya anak kampungan, tapi kini kenyataannya si anak singkong telah berubah menjadi seorang pengusaha yang luar biasa, jadi apalah arti sebuah nama…….


sumber : http://tongilmu123.blogspot.com/2012/07/kisah-sukses-chairul-tanjung.html#.UTll86CD_t0

KISAH SUKSES DAHLAN ISKAN


>>
Profil Dahlan Iskan


Dahlan Iskan (lahir tanggal 17 Agustus 1951 di Magetan, Jawa Timur), adalah CEO surat kabar Jawa Pos dan Jawa Pos News Network, yang bermarkas di Surabaya. Ia juga adalah Direktur Utama PLN sejak 23 Desember 2009. Pada tanggal 19 Oktober 2011, berkaitan dengan reshuffle Kabinet Indonesia Bersatu II, Dahlan Iskan diangkat sebagai Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara menggantikan Mustafa Abubakar yang sedang sakit.
Dahlan Iskan dibesarkan di lingkungan pedesaan dangan kondisi serba kekurangan. Orangtuanya tidak ingat tanggal berapa Dahlan dilahirkan. Dahlan akhirnya memilih tanggal 17 Agustus dengan alasan mudah diingat karena bertepatan dengan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia.
Dahlan Iskan pernah menulis buku berjudul Ganti Hati (catatan tersebut dapat dibaca di Pengalaman Pribadi Menjalani Tranplantasi Liver) pada tahun 2008. Buku ini berisi tentang penglaman Dahlan Iskan dalam melakukan operasi cangkok hati di Cina.
Karir Dahlan Iskan dimulai sebagai calon reporter sebuah surat kabar kecil di Samarinda (Kalimantan Timur) pada tahun 1975. Tahun 1976, ia menjadi wartawan majalah Tempo. Sejak tahun 1982, Dahlan Iskan memimpin surat kabar Jawa Pos hingga sekarang.
Dahlan Iskan adalah sosok yang menjadikan Jawa Pos yang waktu itu hampir mati dengan oplah 6.000 ekslempar, dalam waktu 5 tahun menjadi surat kabar dengan oplah 300.000 eksemplar.
Lima tahun kemudian terbentuk Jawa Pos News Network (JPNN), salah satu jaringan surat kabar terbesar di Indonesia, dimana memiliki lebih dari 80 surat kabar, tabloid, dan majalah, serta 40 jaringan percetakan di Indonesia. Pada tahun 1997 ia berhasil mendirikan Graha Pena, salah satu gedung pencakar langit di Surabaya, dan kemudian gedung serupa di Jakarta.
Pada tahun 2002, ia mendirikan stasiun televisi lokal JTV di Surabaya, yang kemudian diikuti Batam TV di Batam dan Riau TV di Pekanbaru.
Sejak awal 2009, Dahlan adalah sebagai Komisaris PT. Fangbian Iskan Corporindo (FIC)yang akan memulai pembangunan Sambungan Komunikasi Kabel Laut (SKKL) pertengahan tahun ini. SKKL ini akan menghubungkan Surabaya di Indonesia dan Hong Kong. Dengan panjang serat optik 4.300 kilometer
Sejak akhir 2009, Dahlan diangkat menjadi direktur utama PLN menggantikan Fahmi Mochtar yang dikritik karena selama kepemimpinannya banyak terjadi mati lampu di daerah Jakarta. Semenjak memimpin PLN, Dahlan membuat beberapa gebrakan diantaranya bebas byar pet se Indonesia dalam waktu 6 bulan, gerakan sehari sejuta sambungan. Dahlan juga berencana membangun PLTS di 100 pulau pada tahun 2011. Sebelumnya, tahun 2010 PLN telah berhasil membangun PLTS di 5 pulau di Indonesia bagian Timur yaitu Pulau Banda, Bunaken Manado, Derawan Kalimantan Timur, Wakatobi Sulawesi Tenggara, dan Citrawangan. Selain sebagai pemimpin Grup Jawa Pos, Dahlan juga merupakan presiden direktur dari dua perusahaan pembangkit listrik swasta: PT Cahaya Fajar Kaltim di Kalimantan Timur dan PT Prima Electric Power di Surabaya.
Pada tanggal 17 Oktober 2011, Dahlan Iskan ditunjuk sebagai pengganti Menteri BUMN yang menderita sakit. Ia terisak dan terharu begitu dirinya dipanggil menjadi menteri BUMN karena ia berat meninggalkan PLN yang menurutnya sedang pada puncak semangat untuk melakukan reformasi PLN (untuk Catatan Dahlan Iskan pada saat menjabat sebagai Direktur Utama PLN dapat disimak di CEO Notes, sedang Catatan Dahlan Iskan pada saat menjabat sebagai Mentri BUMN dapat disimak di Manufacturing Hope).

Sumber: www. id.wordpress.org